ATURAN PENGENAAN BUNGA DALAM HUKUM PERDATA INDONESIA

David Nainggolan, S.H, M.H.

Hakim pada Pengadilan Negeri Masohi, 2021

Hukum Indonesia memungkinkan permintaan penggantian kerugian menurut undang-undang yang dapat berupa ‘kosten, schaden, en interessen’, sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 KUH Perdata. Pasal ini menyebutkan: Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya". 

Menurut Subekti (1996: 148), yang dimaksud kerugian yang dapat dimintakan tidak hanya biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa harta benda si berpiutang (schaden), tetapi juga kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang akan diperoleh seandainya di berutang/debitor tidak lalai menjalankan kewajibannya (winsderving).

Pada prinsipnya, ganti rugi yang diatur dalam Pasal 1243 KUH Perdata secara logis besarnya adalah sebesar kerugian yang diderita atau kerugian yang nyata (feitelijke schade). Namun Pasal 1249 KUH Perdata memberikan pengecualian, berupa kesepakatan kedua belah pihak yang telah membuat perjanjian. Jika sudah diperjanjikan sebelumnya, maka Pasal 1249 KUH Perdata menegaskan tidak boleh diberikan suatu jumlah yang lebih tinggi atau yang lebih rendah dari apa yang diperjanjikan. Klausula perjanjian semacam itu disebut janji ganti rugi/denda atau ‘schadevergoeding/boete beding’. (J. Satrio, 1999: 145). 

Jika sudah diperjanjikan sebelumnya, maka Pasal 1249 KUH Perdata menegaskan tidak boleh diberikan suatu jumlah yang lebih tinggi atau yang lebih rendah dari apa yang diperjanjikan

Terkait dengan bunga, ada beberapa pertanyaan mendasar: apakah ada batasan jumlah bunga yang boleh diajukan? Dalam hal-hal apa tuntutan bunga dapat diajukan kepada tergugat? Apa konsekuensinya jika para pihak sebelumnya tidak memperjanjikan bunga dalam perjanjian mereka? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut telah berkembang dalam praktik pengadilan. 

Jenis Bunga Sebagai Ganti Rugi

Dari istilah teknis hukum, J. Satrio (1999: 207) membagi bunga dalam konteks ganti rugi Pasal 1243 KUH Perdata ke dalam tiga jenis yakni bunga moratoir, bunga konventional, dan bunga kompensatoir.

Bunga moratoir merupakan bunga yang terutang karena debitur terlambat memenuhi kewajibannya membayar sejumlah uang. Jadi, bunga jenis ini adalah ganti rugi dalam wujud sejumlah uang sebagai konsekuensi dari tidak dipenuhinya atau terlambat memenuhi perjanjian yang berisi kewajiban pembayaran sejumlah uang oleh debitur. Berkaitan dengan bunga moratoir, Pasal 1250 KUH Perdata menyebutkan penggantian biaya, rugi, dan bunga itu hanya harus dibayar terhitung mulai sejak ia meminta di muka pengadilan kecuali dalam hal-hal lain yang ditetapkan undang-undang berlaku demi hukum. 

Isi perjanjian kedua belah pihak harus berupa kewajiban membayar sejumlah uang, termasuk di dalamnya utang berupa cek (putusan Mahkamah Agung No. 367 K/Sip/1972). Putusan-putusan pengadilan Indonesia mengalami perkembangan tentang besarnya bunga moratoir ini. Pada dekade 1950-an pengadilan cenderung memegang bunga angka 6 persen; tetapi pada 1970-an pengadilan menjatuhkan bunga moratoir sebesar 3 persen per bulan (Putusan MA No. 665 K/Sip/1973). Malahan ada yang menjatuhkan angka 2 persen sebulan dihitung sejak dimasukkannya gugatan ke pengadilan (Putusan MA No. 367 K/Sip/1972 dan putusan No. 452 K/Sip/1975).

Bunga konventional adalah bunga yang disepakati para pihak. Lantaran sudah diperjanjian para pihak sejak awal, maka bunga ini tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ganti rugi. Bunga konventional bukanlah ganti rugi, tetapi karena disepakati para pihak, maka sesuai Pasal 1338 KUH Perdata, sifatnya menjadi mengikat para pihak yang berjanji. Bunga konventional termasuk isi perikatan sehingga tunduk pada asas kebebasan berkontrak. Menurut J. Satrio (1999: 216) pada prinsipnya jika para pihak telah menetapkan suatu prosentase bunga tertentu (bunga konventional), maka yang berlaku adalah bunga yang telah disepakati. Pandangan semacam ini terlihat antara lain dalam putusan MA No. 401 K/Sip/1972 tanggal 7 Oktober 1972, dan putusan MA No. 475 K/Sip/1974 tertanggal 25 Mei 1977.

Bunga kompensatoir adalah semua bunga di luar bunga yang diperjanjikan. Jadi, bunga moratoir sebenarnya merupakan bagian dari bunga kompensatoir. Intinya, bunga kompensatoir adalah bunga selain bunga konventional dan bunga moratoir. Ini bisa terjadi jika debitur tidak memenuhi kewajibannya terhadap kreditur sehingga kreditur terpaksa mengambil tindakan yang merugikan dirinya guna menghindari kerugian yang lebih besar lagi seperti menjual seluruh hartanya. Uang yang ia peroleh dari hartanya kalau ia tabung atau investasikan dalam usaha, tetapi kehilangan kesempatan itu.

Jadi, bunga ini tidak bersumber dari keterlambatan debitur membayar sejumlah uang, bukan bunga moratoir yang termasuk dalam keuntungan yang diharapkan. Contoh yang umum disebut adalah kelalaian wali memenuhi kewajibannya berdasarkan Pasal 391 KUH Perdata (Jika wali dalam waktu satu tahun telah melalaikan memperbungakan beberapa jumlah uang dengan cara yang diatur dalam pasal ini, maka mereka harus membayar bunga tersebut menurut undang-undang).

Beberapa contoh putusan pengadilan mengenai bunga, yang relevan dalam perkembangan hukum, dapat dilihat pada tabel berikut (Putusan-putusan Mahkamah Agung terkait Bunga).

Masalah

Putusan MA

Kaidah Hukum

Lalai Menagih Utang

No. 410 K/Sip/1959 tanggal 25 November 1959

Dalam hal kreditur lalai menagih sehingga uang pinjaman  sampai tidak dikembalikan (sampai 20 tahun), maka bunga yang pantas diperhitungkan hanya untuk selama dua tahun.

Suku bunga pinjaman

 

No. 289 K/Sip/1972 tanggal 22 Juli 1972

Besarnya suku bunga pinjaman adalah sebagaimana yang telah diperjanjikan bersama.

No. 401 K/Sip/1972 tanggal 7 Oktober 1972

Berapapun besarnya bunga utang asal sudah diperjanjikan, harus dipenuhi.

Bunga yang diperjanjikan

No. 4434 K/Pdt/1986

Bunga uang yang telah diperjanjikan  oleh kedua belah pihak tetap mengikat dan harus dilaksanakan (eks Pasal 1767 ayat 2 jo Pasal 1338 KUH Perdata).

Bunga tidak diperjanjikan

No. 1321 K/Sip/1973 tanggal 13 Mei 1975

Tuntutan terhadap bunga yang tidak diperjanjikan  tidak dapat dikabulkan.

Bunga untuk titipan uang

No. 378 K/1973 tanggal 25 November 1975

Terhadap titipan uang tidak dapat dikenakan bunga.

Bunga yang lazim

No. 804 K/Sip/1973 tanggal 4 Desember 1975

Tergugat dihukum untuk membayar uang utang pokok ditambah bunga 6 persen sebulan karena jumlah bunga sekian persen itu merupakan bunga yang lazim pada saat perjanjian dibuat.

Prosentase bunga

 

No. 1253 K/Sip/1973 tanggal 14 Oktober 1976

Bunga yang diperjanjian sebesar 20 persen sebulan, atas pertimbangan peri kemanusiaan dan keadilan, bunga yang dikabulkan adalah 3 persen sebulan sesuai pinjaman pada bank-bank negara pada saat perjanjian dibuat.

No. 51 K/Pdt/1984 tanggal 29 Agustus 1985

Tergugat dihukum untuk membayar ganti rugi berupa bunga sebesar 2 persen sebulan.

Bunga dalam jual beli

 

No. 1061 K/Sip/1975

Dalam jual beli tidak ada persoalan bunga, maka tuntutan penggugat mengenai bunga 6 persen sebulan karena keterlambatan pembayaran oleh tergugat sebagai pembeli tidak dapat dikabulkan.

No. 597 K/Pdt/1983 tanggal 8 Mei 1984

  1. Tuntutan penggugat mengenai bunga 3 persen sebulan karena keterlambatan pembayaran harus ditolak karena dalam jual beli tidak ada persoalan bunga;
  2. Sesuai pasal 1767 KUH Perdata jo LN Tahun 1848 No. 22, bunga menurut undang-undang sebesar 6 persen setahun atau setengah persen per bulan baru akan diperhitungkan kalau pembayaran bunga tidak diperjanjikan.

Kepatutan dan keadilan penetapan bunga (bunga terlalu tinggi).

 

No. 3917 K/Pdt/1986 tanggal 30 September 1988

Denda uang (bunga/ganti rugi) yang dijanjikan para pihak, kemudian dituangkan dalam grosse akte pengakuan utang, bilamana jumlahnya dinilai terlalu tinggi sehingga tidak sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan , maka hakim berwenang untuk menurunkannya ke tingkat yang lebih rendah, sehingga sesuai dengan rasa keadilan (matigingsrecht).

No. 3431 K/Pdt/1985 tanggal 4 Maret 1987

Bunga pinjaman uang  dan barang jaminan yang bertentangan dengan kepatutan dan keadilan harus dibatalkan.

Bunga kredit macet

No. 2899 K/Pdt/1994 tanggal 15 Februari 1996

Bank yang sudah menyatakan suatu kredit macet, maka sejak saat itu kredit harus berstatus quo dan karenanya tidak diperkenankan lagi untuk menambah dengan bunga.

Rujukan penetapan bunga

No. 1076 K/Pdt/1996 tanggal 9 Maret 2000

Walaupun sudah diperjanjikan dan sudah disepakati oleh kedua belah pihak  bahwa peminjam wajib  membayar bunga sebesar 2,5 persen setiap bulan, namun bunga tersebut perlu disesuaikan dengan bunga yang berlaku di bank pemerintah, yaitu 17 persen setahun.

 

Bunga atas Bunga

Bolehkah dituntut bunga atas besaran bunga yang sudah diperjanjikan? Pasal 1251 KUH Perdata memberikan jawaban atas pertanyaan ini. Pasal ini menyatakan bunga dari uang pokok yang dapat ditagih dapat pula menghasilkan bunga, baik karena berdasarkan permintaan di depan pengadilan maupun karena persetujuan khusus, sepanjang permintaan itu mengenai bunga yang harus dibayar untuk satu tahun.

Itu yang disebut dengan bunga berbunga, yakni bunga yang sudah jatuh waktu tetapi belum dibayar oleh debitur sehingga menghasilkan bunga lagi. Namun tidak berlaku otomatis. Syaratnya, bunga itu harus dituntut di muka pengadilan atau sejak semula sudah diperjanjikan. Pembatasan lainnya: hanya untuk bunga yang harus dibayar dalam satu tahun. Menurut J. Satrio (1999: 229), ketentuan Pasal 1251 KUH Perdata dimaksudkan  untuk melindungi debitur dari beban bunga yang terlalu berat. Pembentuk undang-undang khawatir bahwa debitur yang pada umumnya meminjam uang dalam keadaan terdesak akan menderita kerugian yang sangat berlebihan.

Bunga yang sudah jatuh waktu tetapi belum dibayar oleh debitur sehingga menghasilkan bunga lagi, tapi tidak berlaku otomatis

Dalam suatu perkara yang disidangkan Pengadilan Negeri Biak, Penggugat telah mengajukan tuntutan agar Tergugat membayar antara lain ‘menanggung bunga atas uang Rp1.389.920.804,53 dengan bunga berbunga 1,9 persen per bulan sejak Mei sampai Septrember 1997 sebesar Rp3.334.102.332,09’. Petitum bunga berbunga ini tak sampai dipertimbangkan karena gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima, dan putusan ini dikuatkan hingga ke Mahkamah Agung (vide Putusan No. 430 K/Pdt/2000). 

Dalam suatu perkara yang sidangkan di PN Medan, Tergugat telah melawan tuntutan bunga berbunga dengan argumentasi berikut: “Mohon kiranya Pengadilan Negeri Medan menyatakan gugatan Penggugat sebagai gugatan niet ontvankelijverklaraad berdasarkan alasan onscuur libel dan tuntutan bunga berbunga adalah bertentangan dengan Geldschieter Ordonantie dan UU Perbankan” (vide Putusan PN Medan No. 353/Pdt.G/1998/PN.Mdn tanggal 20 Mei 1999).

Penolakan pengadilan atas bunga berbunga atau bunga atas bunga dapat dilihat dari pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin No. 5/Pdt.G.S/2018/PN. Bjm tertanggal 9 Agustus 2018, yang sudah berkekuatan hukum tetap. Hakim mempertimbangkan bahwa Pasal 1251 KUH Perdata hanya membatasi ketentuan bunga berbunga sepanjang mengenai bunga uang pokok yang dapat ditagih dan terhadap angsuran pokok yang dapat ditagih tidak dapat mengasilkan bunga karena uang pokok sejak awal menghasilkan bunga sehingga tidak dapat diterapkan bunga untuk kedua kalinya. Sedangkan mengenai bunga uang pokok yang dapat ditagih harus dibuat perjanjian khusus, dalam arti harus secara tegas dan jelas berapa ketentuan bunganya.

Hakim menyatakan “Bahwa setelah mempelajari dengan saksama Pasal 3 ayat (4) Surat Perjanjian Kredit yang mengatur denda atau bunga berbunga tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai besarnya bunga, di samping itu kalau dilihat penerapan bunga pinjaman yang dilakukan Penggugat menurut hemat pengadilan sudah cukup tinggi terhadap Tergugat yang ekonominya sangat lemah, sehingga sangatlah adil apabila tuntutan denda penggugat terhadap tergugat haruslah ditolak”.

ANALISIS PENERAPAN PASAL 64 AYAT (1) KUHP

Oleh David Nainggolan, S.H, M.H.

Acap kali pelaku perkara tindak pidana korupsi senantiasa diterapkan pasal 64 ayat (1) KUHP oleh Jaksa Penuntut Umum---rumusan perbuatan berlanjut (voortgezette handeling). Apakah formulasi rumusan perbuatan berlanjut; penerapannya dengan maksud sebagai bentuk khusus dari tindak pidana atau hanya sebatas pengaturan pemidanaan?

 

Seperti rumusan dakwaan; Perbuatan Terdakwa dituduh melanggar pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-undang RI Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang Nomor 31 tahun 1999 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP...(dst).

 

Mahkamah Agung RI dengan putusan Nomor 995 K/Pid/2006 dan Nomor 996 K/Pid/2006 tercantum amar putusan terhadap Terdakwa Prof. Dr. NS dan Terdakwa HA terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana; ‘Korupsi yang dilakukan secara bersama-sama’; ‘Korupsi yang merupakan beberapa perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan berlanjut’.

 

Sebelumnya juga Mahkamah Agung RI dalam Putusan Nomor 02.K/Pid/1995 yakni dalam kasus The Gandhi Memorial School memutuskan antara lain Menyatakan terdakwa R terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana; ‘Menyuruh memasukan keterangan palsu kedalam Akta Autentik yang dilakukan secara  berlanjut (voortgezette handeling) eks Pasal 266 ayat (1) tentang menyuruh memasukan keterangan palsu ke dalam suatu akta autentik jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP tentang perbuatan berlanjut’.

 

Dari beberapa penerapan pasal dan putusan diatas, yang menarik adalah mengenai bentuk dan kualifikasi dari tindak pidana yang terbukti dilakukan Terdakwa; disamping dinyatakan kualifikasi dari tindak pidana pokoknya (korupsi dan memasukkan keterangan palsu) juga di tambah kualifikasi “yang dilakukan secara berlanjut (voortgezette handeling) “.

 

Amar putusan dengan bentuk seperti itu secara empirik banyak dijatuhkan, baik di peradilan tingkat pertama, banding maupun kasasi.  Sehingga bukan merupakan hal baru apabila Hakim menyatakan telah terbuktinya suatu tindak pidana yang dilakukan secara berlanjut.

 

Tetapi dibalik ‘bukan hal yang baru’, terdapat persoalan menarik yang perlu pemahaman dan diskusi lebih lanjut; apakah perbuatan berlanjut sebagimana dimaksud merupakan suatu bentuk khusus dari tindak pidana?.  Dengan melihat bentuk vonis sebagaimana disebutkan di atas, terlihat Mahkamah Agung menganut aliran---perbuatan berlanjut merupakan suatu bentuk khusus dari tindak pidana, merupakan bentuk khusus dari tindak pidana korupsi dan tindak pidana memasukan keterangan palsu, oleh karena dalam vonis tersebut dinyatakan tindak pidana tersebut dilakukan secara berlanjut.

 

Jauh sebelum putusan tersebut lahir, Mahkamah Agung RI sebagaimana dalam Putusan MA RI Nomor 156 K/Kr/1963 Tanggal 28 April 1964 menyatakan bahwa soal perbuatan berlanjut (Voortgezette handeling) hanya mengenai soal penjatuhan hukuman (straftoemating) dan tidak mengenai pembebasan dari tuntutan.

 

Dengan adanya hal itu, maka timbul pertanyaan apakah perbuatan berlanjut merupakan suatu bentuk khusus dari tindak pidana atau hanya aturan mengenai pemidanaan semata?

 

Pertanyaan itupun perlu dikaitkan dengan efektivitas dari ketentuan tentang perbuatan berlanjut dalam pembuktian terjadinya suatu tindak pidana yang didakwakan dan konsekuensi yuridis dari pembuktian adanya perbuatan berlanjut dikorelasikan pula dengan sistem pemidanaan yang berlaku.

 

Konstruksi Yuridis dari Perbuatan Berlanjut

 

Sebagaimana kita ketahui ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP yang mengatur tentang “perbuatan berlanjut” (voortgezette handeling), tercantum dalam BAB VI tentang Perbarengan (concursus).  Dimana dalam KUHP tidak dijelaskan mengenai arti dari perbarengan itu seperti apa, tetapi  rumusan pasal 63 s/d 71 KUHP diperoleh pengertian concursus adalah dalam bentuk perbarengan peraturan (concursus idealis), perbuatan berlanjut (voortgezette handeling) dan perbarengan perbuatan (concursus realis).

 

Ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP menyatakan ‘jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus di pandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya dikenakan satu aturan pidana, jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat’.

 

Hal pertama yang harus dibuktikan adalah adanya beberapa perbuatan berupa kejahatan atau pelanggaran, dimana hukum mensyaratkan perbuatan-perbuatan tersebut harus sejenis.  Seperti yang dinyatakan oleh R. Soesilo perbuatan-perbuatannya itu harus sama atau sama macamnya, misalnya pencurian dengan pencurian, termasuk pula segala macam pencurian dari yang teringan sampai yang terberat, penggelapan dengan penggelapan mulai dari yang teringan sampai dengan yang terberat, penganiayaan dengan penganiayaan meliputi semua bentuk penganiayaan, dari penganiayaan ringan sampai penganiayaan berat.

 

Tetapi hukum juga mengartikan perbuatan sejenis tidak seluruhnya dalam bentuk fisik perbuatan yang sama, bisa juga bentuk perbuatan yang berbeda, pengertian ini khusus dalam konstruksi jika orang melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau yang dirusak itu (Vide Pasal 64 ayat 2 KUHP).

 

Contoh dari beberapa perbuatan yang tidak sejenis dan bukan merupakan syarat adanya perbuatan berlanjut adalah seperti yang ternyata dalam Arrest HR 30 Juni 1913 bahwa bukan merupakan perbuatan berlanjut karena perbuatan-perbuatan yang tidak sama jenis adalah membuka suatu surat (pasal 432 KUHP) serta mengubah isinya (pasal 433 KUHP).

 

Selanjutnya beberapa tindak pidana yang sejenis bisa disebut sebagai perbuatan berlanjut apabila dipenuhi syarat lanjutannya yakni berasal dari satu keputusan kehendak dan dilakukan dalam tenggang waktu yang tidak terlalu lama.

 

Dalam Arrest HR 11 Juni 1894, dinyatakan untuk perbuatan berlanjut tidak saja diperlukan adanya perbuatan-perbuatan yang sama jenis yang telah dilakukan, disamping itu perbuatan-perbuatan tersebut harus mewujudkan keputusan perbuatan terlarang yang sama.

 

Satu keputusan kehendak merupakan pengertian yuridis yang dikonstruksikan bahwa pelaku melakukan beberapa tindak pidana tersebut berasal dari satu niat, yakni tertuju pada satu objek tindak pidana tersebut.  Untuk lebih menyederhanakan hal ini R. Soesilo memberi contoh dari adanya “timbul dari suatu niat atau kehendak atau keputusan”, misalnya seseorang tukang berniat mempunyai (mencuri) radio, tetapi tidak ada kesempatan untuk mencuri satu pesawat radio yang komplit.  Ia hanya berkesempatan hari ini mencuri beberapa lampu radio dari gudang majikannya, lain hari mencuri pengeras suara lain minggu lagu mencuri kawat-kawat dan seterusnya.

 

Mengenai syarat “satu keputusan kehendak” Simons mengartikannya secara umum dan lebih luas yaitu tidak berarti harus ada kehendak untuk tiap-tiap kejahatan.  Berdasar pengertian luas ini, maka tidak perlu perbuatan-perbuatan itu sejenis, asal perbuatan itu dilakukan dalam rangka pelaksanaan satu tujuan misalnya untuk melampiaskan balas dendamnya kepada B, A melakukan serangkaian perbuatan-perbuatan berupa meludahi, merobek bajunya, memukul dan akhirnya membunuh.

 

Dalam tataran praktek untuk membuktikan adanya satu niat ini cukup sulit, sebagai contoh dalam Putusan MA No. 162 K/Kr/1962 tanggal 5 Maret 1963 dinyatakan bahwa penghinaan-penghinaan ringan yang dilakukan terhadap lima orang pada hari-hari yang berlainan tidak mungkin berdasar satu keputusan kehendak (wilsbesluit), maka tidak dapat di pandang lagi satu perbuatan dan tidak dapat atas kesemua perkara diberikan satu putusan.

 

Dengan demikian yang menjadi pegangan untuk menentukan adanya satu keputusan kehendak adalah perbuatan tersebut di tujukan pada satu objek tindak pidana (object delict).

 

Syarat selanjutnya adalah dilakukan dalam tenggang waktu yang tidak lama.  Pengertian “waktu yang tidak lama” ini terlihat sangat mudah dibaca akan tetapi sebenarnya sulit dalam penerapannya, oleh karena tidak ada aturan lebih lanjut mengenai batasan “waktu yang tidak lama”, apakah hal ini ukurannya hari, bulan atau tahun, hal ini tidak jelas diatur.

 

Sebagai bahan pegangan dalam Arrest HR 26 Juni 1905 dinyatakan bahwa adanya kesamaan jenis dari perbuatan-perbuatan tidaklah cukup.  Apabila dua perbuatan terpisah oleh suatu waktu perantara selama 4 hari dan tidak terbukti, bahwa garis perbuatan tersangka pada perbuatan yang pertama adalah sama dengan perbuatan yang kedua, maka tidak ada perbuatan berlanjut.

 

Berikut ini disampaikan beberapa contoh kasus yang dikualifikasikan sebagai perbuatan berlanjut :

 

Contoh dari Mr. H. M Tirtaamidjaja;

  • A hendak berzina dengan seorang perempuan B yang telah bersuami, A melaksakan maksudnya itu dengan beberapa kali berzina dengan perempuan itu dalam selang waktu yang tidak terlalu lama;
  • A menguasai kas  Vtempat ia bekerja, memutuskan untuk mengambil untuk dirinya sendiri sebagian dari kas itu.  Untuk melaksanakan maksud itu, ia mengambil beberapa kali dalam interval waktu yang tak lama suatu jumlah tertentu;

Contoh dari Mr. J. M van Bemmelen;

  • Seseorang mencuri suatu tumpukan batu, akan tetapi tidak sanggup mengangkut batu itu sekali jalan.  Jadi, ia terpaksa beberapa kali mondar mandir dengan gerobaknya untuk mengangkut batu itu semua;
  • Dari hal-hal tersebut maka point yang menjadi pegangan untuk menyebut adanya suatu perbuatan berlanjut adalah; ‘Terdakwa melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran) yang sejenis, berasal dari satu keputusan kehendak dan dilakukan dalam tenggang waktu yang tidak terlalu lama’.

Konsekuensi Yuridis dari perbuatan berlanjut

 

Seperti tersebut dalam bagian pendahuluan, merupakan hal yang klasik pertentangan pendapat tentang perbuatan berlanjut.  Dimana  terdapat dua pandangan besar atas perbuatan berlanjut ini yang pertama memandang sebagai soal penjatuhan pidana semata antara lain Hazewinke-Suringa, dan Kedua yang memandang sebagai bentuk khusus tindak pidana antara lain Pompe, Mezger, Mulyatno.  Dimana masing-masing pihak tersebut memiliki dalil pembenarnya.

 

Pengadilan juga menyikapi hal yang sama atas hal tersebut, hal ini seperti terlihat dari putusan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 02.K/Pid/1995, No. 995 K/Pid/2006 dan Nomor 996 K/Pid/2006 yang menganut bahwa perbuatan berlanjut merupakan bentuk khusus dari tindak pidana, dan Putusan Mahkamah Agung No. 156 K/Kr/1963 Tanggal 28 April 1964 yang secara tegas menyatakan bahwa soal perbuatan berlanjut (Voortgezette handeling) hanya mengenai soal penjatuhan hukuman (straftoemating).

 

Indikasi yang nyata bahwa Putusan MA menganut aliran bahwa perbuatan berlanjut merupakan bentuk khusus dari tindak pidana, Penulis melihatnya dari  amar putusan mengenai kualifikasi tindak pidana yang terbukti yakni ada penambahan kalimat “ ..... yang dilakukan secara berlanjut / ..... yang merupakan beberapa perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan berlanjut” dibelakang tindak pidana pokok yang terbukti.

 

Bahwa indikasi tersebut hanya dilihat dari bentuk/kualifikasi amar putusan oleh karena dalam pertimbangan hukum putusan-putusan tersebut tidak dipertimbangkan secara khusus mengenai kedudukan perbuatan berlanjut tersebut, apakah sebagai bentuk khusus tindak pidana atau Straftoemating.  Hal ini juga terlihat dari putusan-putusan pengadilan di bawahnya, bukan merupakan suatu kelaziman jika Hakim dalam putusannya mempertimbangkan tentang kedudukan perbuatan berlanjut tersebut, jarang sekali Hakim dalam mempertimbangankan terbukti tidaknya perbuatan berlanjut mempertimbangkan pula kedudukannya Pasal 64 ayat (1) KUHP ini apakah sebagai bentuk khusus tindak pidana atau Straftoemating semata.

 

Senyatanya dengan melihat konstruksi yuridis perbuatan berlanjut maka terlihat perbuatan berlanjut bukan merupakan hal yang sederhana dan mudah dibuktikan.

 

Dengan kata lain perbuatan berlanjut merupakan hal yang kompleks dan membutuhkan pembuktian yang cermat untuk 3 unsurnya tersebut (yakni harus dibuktikan adanya satu niat untuk melakukan beberapa tindak pidana yang sejenis yang dilakukan dalam tenggang waktu yang tidak lama). Dimana hampir semua unsur dari adanya perbuatan berlanjut secara teoritis tidak memiliki pengaturan yang jelas, misalnya mengenai pengertian dari satu keputusan kehendak, mengenai tenggang waktu.

 

Tetapi disisi lain, yakni jika kita memperhatikan kalimat penutup dari ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP, yakni ... hanya dikenakan satu aturan pidana, jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat, (penjatuhan pidana dengan sistem absorpsi) maka dari hal tersebut terlihat PADA POKOKNYA, terbukti adanya perbuatan berlanjut tidak dapat dijadikan dasar untuk memperberat dalam penjatuhan pidana.

 

Dalam pengertian apabila terbukti terdapat perbuatan berlanjut yang dilakukan terdakwa, Hakim tidak dapat menjatuhkan pidana yang lebih berat dari ancaman pidana maksimal dalam aturan pasalnya oleh karena hukum mengatur hanya dikenakan satu aturan pidana c.q.  pidana pokok yang paling berat.  Apalagi ternyata dalam praktek, Hakim memutus biasanya dibawah ketentuan pidana maksimal.

 

Sehingga ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP jika digunakan oleh Penuntut Umum dalam dakwaannya dalam kerangka untuk memperberat kualitas dari tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa dipastikan tidak akan tercapai, sehingga terlihat aturan ini mempersulit pembuktian dakwaan Penuntut Umum sendiri.

 

Tetapi perbuatan berlanjut dapat dijadikan dasar untuk memperberat penjatuhan pidana HANYA khusus seperti yang diatur dalam Pasal 64 ayat 3 KUHP yakni dalam hal kejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasal Pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan), dan 407 ayat 1 (perusakan barang ringan) yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut dikenakan aturan pidana untuk kejahatan biasa, berarti yang dikenakan adalah Pasal 362 (pencurian), 372 (Penggelapan), 378 (Penipuan) atau 406 (Perusakan barang).

 

Dengan demikian konsepsi awal yang harus dipegang adalah tersebut adanya perbuatan berlanjut tidak mempunyai korelasi dengan penjatuhan pidana lebih berat dari ancaman pidananya, kecuali yang diatur dalam Pasal 64 ayat (3) KUHP.

 

Selanjutnya jika kita mengkonsepsikan perbuatan berlanjut adalah bentuk khusus dari tindak pidana, maka perbuatan berlanjut dalam hal ini konstruksi hukumnya sama dengan percobaan dan penyertaan dalam tindak pidana, yakni terkualifikasi sebagai unsur-unsur yang menyatu dengan tindak pidana pokok yang didakwakan.

 

Oleh karena menyatu dengan unsur tindak pidana pokok dalam dakwaan, maka Penuntut Umum dalam dakwaannya dan Hakim dalam putusannya harus menguraikan dan mempertimbangkan dengan cermat dan jelas mengenai terbukti tidaknya perbuatan berlanjut tersebut.  Dan yang harus digaris bawahi oleh karena kedudukan unsur perbuatan berlanjut adalah sama dengan kedudukan unsur-unsur tindak pidana pokok maka apabila unsur perbuatan berlanjut tidak terbukti dipersidangan konsekuensi yuridisnya seharusnya tindak pidana yang di dakwakan juga tidak terbukti, karena hal ini juga berlaku dalam hal terjadi percobaan dan penyertaan dalam tindak pidana, apabila percobaan (Pasal 53 KUHP) dan penyertaan (Pasal 55, 56 KUHP) tidak terbukti maka tindak pidana yang menjadi pokok dakwaan harus juga dinyatakan tidak terbukti.

 

Contoh kasus misalnya; Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana koruspi (dakwaan Pokok), tetapi ternyata tindak pidana korupsi tersebut tidak terkualifikasi sebagai perbuatan berlanjut, jika Hakim berpendirian perbuatan berlanjut adalah bentuk khusus dari tindak pidana, maka nyata tindak pidana korupsi tersebut seharusnya tidak terbukti dan Terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan.

 

Tetapi dilain pihak apabila ternyata unsur-unsur tindak pidana dan unsur perbuatan berlanjut tersebut terbukti maka Hakim tidak dapat menjatuhkan pidana melebihi ancaman pidana dari pasal yang didakwakan (memperberat pidana melebihi ancaman pidananya).

 

Dengan demikian nyata penerapan aturan perbuatan berlanjut sebagai bentuk khusus dari tindak pidana dalam praktek pengadilan sangat tidak berimbang peran dan kedudukannya, yakni jika terbukti tidak berkorelasi dengan pemberatan penjatuhan pidana (kecuali yang diatur dalam Pasal 64 ayat (3) KUHP) tetapi jika perbuatan berlanjut tidak terbukti maka dakwaan tidak terbukti pula, terdakwa harus dibebaskan dan dalam tataran lebih luas hal ini dapat menafikan rasa keadilan dan kemanfaatan.

 

Lain halnya jika perbuatan berlanjut tersebut dalam konsep sebagai sistem pengenaan pidana semata (Straftoemating), maka ketentuan perbuatan berlanjut tersebut hanya merupakan pedoman / pegangan bagi Hakim dalam penjatuhan pidana.  Dimana sesuai dengan ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP, penjatuhan pidana terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana yang dilakukan secara berlanjut adalah dengan menggunakan sistem absorpsi yakni hanya dikenakan satu aturan pidana, jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat

 

Konsekuesi dari perbuatan berlanjut sebatas pedoman penjatuhan pidana maka Penuntut Umum tetap harus menguraikan adanya perbuatan berlanjut dalam dakwaannya dan Hakim dalam putusannya tetap harus mempertimbangkan ada tidaknya perbuatan berlanjut tersebut, tetapi dalam konsepsi ini ada hal yang menguntungkan yakni pembuktian terpenuhi atau tidaknya perbuatan berlanjut tidak berpengaruh pada pembuktian unsur-unsur tindak pidana pokok yang didakwakan tetapi hanya berpengaruh pada masalah pengenaan pidana yang dijatuhkan semata.

 

Sehingga jika ketentuan perbuatan berlanjut yang didakwakan kepada Terdakwa tidak terbukti tetapi dakwaan pokoknya terbukti maka dakwaan tersebut haruslah tetap dinyatakan terbukti, apabila dalam contoh kasus di atas, Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi tetapi perbuatan berlanjutnya tidak terbukti maka Terdakwa tetap harus dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

 

Lantas bagaimana legalitas dari perbuatan berlanjut yang tidak terbukti tersebut, maka menurut Penulis aturan mengenai perbuatan berlanjut tersebut harus dikesampingkan dan tidak dijadikan dasar bagi Hakim dalam penjatuhan pidana terhadap terdakwa.

 

Sebagai contoh Hakim dalam putusannya menyatakan sebagai berikut :

 

- Menimbang, bahwa dari fakta-fakta tersebut di atas nyata perbuatan terdakwa haruslah dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri karena perbuatan-perbuatan tersebut dihasilkan dari keputusan kehendak yang berbeda-beda dan berdiri sendiri, sehingga tidaklah dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan berlanjut.

 

- Menimbang, bahwa dengan demikian ketentuan Pasal 64 Ayat (1) KUHP tentang pengenaan pidana terhadap perbuatan berlanjut yang ikut didakwakan kepada Terdakwa haruslah dikesampingkan dan tidak dijadikan dasar oleh Majelis dalam pengenaan atau penjatuhan pidana kepada Terdakwa.

 

Dengan konsepsi perbuatan berlanjut bukan merupakan bentuk khusus dari tindak pidana tetapi hanya aturan mengenai pengenaan pidana semata maka pembuktian ada tidaknya perbuatan berlanjut seimbang dengan kedudukan / fungsi pengaturan penjatuhan pidananya yang sebenarnya hanya memberikan pengaturan penjatuhan pidana apabila ada perbuatan berlanjut.

 

Dalam perkembangan selanjutnya ternyata “perbuatan berlanjut” menurut pembuat undang-undang masih patut diatur, hal ini seperti yang terlihat dari RUU tentang KUHP yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, yakni dalam Pasal 138 RUU KUHP dinyatakan :

 

1) Jika terjadi perbarengan beberapa tindak pidana yang saling berhubungan sehingga dipandang sebagai perbuatan berlanjut dan diancam dengan ancaman pidana yang sama maka hanya dijatuhkan satu pidana;

 

2) Jika tindak pidana perbarengan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diancam dengan pidana yang berbeda maka hanya dijatuhkan pidana pokok yang terberat;

 

3)  Ketentuan mengenai penjatuhan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tindak pidana memalsuan atau merusak mata uang dan menggunakan uang palsu atau uang yang dirusak tersebut;

 

4) Dari rancangan tersebut terlihat tidak ada perubahan yang mendasar dari perbuatan berlanjut yang diatur dalam Pasal 64 KUHP, baik itu kualifikasinya maupun sistem pengenaan pidananya yang menggunakan sistem absorpsi, dimana dalam praktek pengadilan ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP ini jarang diperhatikan oleh karena kecenderungan Hakim memutus kurang atau dibawah ancaman maksimal pidana;

 

Akhir

 

Penelaahan ini dititik beratkan pada pemberlakuan aturan perbuatan berlanjut dalam praktek pengadilan yakni dikaitkan dengan segi efektifitas dan daya berlakunya ketentuan ini, dan diakhiri dengan;

 

  • Ketentuan pasal 64 ayat (1) KUHP yang mengatur tentang pengenaan pidana terhadap perbuatan berlanjut dalam praktek aturannya jarang diperhatikan Hakim, oleh karena Hakim dalam memutus suatu perkara pidana cenderung pidananya dibawah ancaman pidana maksimal;

 

  • Hal yang memudahkan, menguntungkan dalam praktek dan memenuhi rasa keadilan jika perbuatan berlanjut tersebut dikonsepsikan dan dikonstruksikan sebagai aturan pengenaan pidana semata (bukan sebagai bentuk khusus dari tindak pidana) oleh karena jika “perbuatan berlanjut” tidak terbukti maka tidak menyebabkan dakwaan tidak terbukti jika ternyata unsur-unsur tindak pidana pokok yang didakwakan telah terbukti;

 

Penerapan Pasal 64 KUHP:

Menurut pendapat Andi Hamzah dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia, hal. 536 yang disarikan dari Memorie Van Toelichting Pasal 64 KUHP, yaitu:

 

“Dalam hal perbuatan berlanjut, pertama-tama harus ada satu keputusan kehendak. Perbuatan itu mempunyai jenis yang sama. Putusan hakim menunjang arahan ini dengan mengatakan:

  1. Adanya kesatuan kehendak;
  2. Perbuatan-perbuatan itu sejenis; dan
  3. Faktor hubungan waktu (jarak tidak terlalu lama)

 

Penerapan Pasal 65 ayat (1) KUHP:

Dalam hal ini, kita dapat memperhatikan Arrest Hoge Raad No. 8255, Juni 1905, yang pada intinya mengandung kaidah hukum yang menyatakan bahwa dalam hal adanya tindak pidana yang antara satu dengan lainnya dipisahkan dalam ‘jarak waktu lebih dari empat hari’ adalah tidak tunduk pada perbuatan berlanjut, sebagaimana diatur dalam Pasal 64 KUHP, melainkan harus dianggap sebagai perbarengan beberapa tindak pidana.

Sebagai penutup, saya juga perlu menyampaikan bahwa ancaman hukuman terhadap suatu tindak pidana yang didakwa dengan menggunakan pasal yang di-juncto-kan dengan Pasal 65 ayat (1) KUHP adalah tidak boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga. Sedangkan, jika di-juncto-kan dengan Pasal 64 KUHP, maka yang diterapkan adalah pasal yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.